Senin, 8 April. Siang itu saya sakit kepala hebat. Sakit, bukan pusing. Kepala rasanya ditusuk-tusuk. Saya engga anggep itu serius, namanya sakit kepala, semua orang pernah ngalamin. Sakitnya makin menjadi, dan saya ga bisa tidur sepanjang hari, padahal sakit kepala kan enaknya tidur ya. Saya telpon RS Medistra 2x sepanjang siang-sore, konsultasi sakit kepala dan tensi yang awet tinggi sejak Sabtu. Sampe malam tiba, saya pun ga sanggup nemenin Nathan tidur di kamarnya. Arief berinisiatif untuk membawa saya ke RS malam itu juga, sekedar cek-cek aja. Sesampenya di RS, para bidan ngecek detak jantung bayi dan kondisi saya sambil terus mengkomunikasikannya dengan obgyn, dr. Handaya. Ga sampe 30 min, diputuskan saya harus bedrest di RS malam itu. Saya kaget, ga persiapan sama sekali soalnya, ga bawa baju ganti dll plus mental. dr.Handaya minta saya diobservasi selama beberapa jam ke depan, tensi saya yang tinggi perlu diturunkan karena bisa menjurus kehamilan dengan pre-eklampsia. Ada 3 syarat untuk menentukan kondisi bumil pre-ec: tensi darah yang meninggi, mata berkunang-kunang (akibat dari sakit kepala) dan volume air seni yang berkurang (karena tubuh menahan air). Saya ngga ngalamin mata berkunng-kunang, tapi sakit kepala hebat saya mengarah ke situ.
Malam itu, saya diberikan infus untuk menurunkan tensi, “obat rileks” (entah yang ini apa) dan panadol untuk menghilangkan sakit kepala. Akhirnya, saya bisa tidur setelah lewat pk 11 malam.
Paginya, saya merasa jauh lebih baik. Sakit kepala hilang dan saya bisa tidur enak. Ternyata, malam itu tensi saya sempat mencapai 170/100. Pagi itu juga, dr. Handaya berbicara dengan Arief, saya disarankan untuk melahirkan siang itu juga. Satu-satunya cara untuk melewati pre-ec adalah melahirkan secepatnya untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Operasi caesar dijadwalkan pk 13.30 siang. Perasaan saya? Campur-aduk. Antara senang karena akan melihat bayi sebentar lagi dan pasrah, banyak hal yang belum beres karena perkiraan lahir yang maju mendadak. Pikiran saya melayang ke rumah yang masih berantakan plus renovasi yang belum selesai, barang belanjaan yang masih saya tumpuk di kantongnya dan terutama Nathan. Lagi ngapain ya tu anak?
Saya pasrah aja Saat itu, yang paling penting adalah bisa melahirkan bayi dengan selamat dan tensi saya normal. Membayangkan proses kehamilan 9 bulan ini yang penuh naik-turun, mulai dari trimester pertama saya batuk melulu, trus mual-mual, sampe akhirnya “diakhiri” dengan kondisi ‘nyaris’ pre-ek, saya sungguh berdoa semuanya berjalan dengan baik, bayi dan ibu semua sehat dan selamat.
Jenna Eliora lahir melalui operasi Caesar hari Selasa, 9 April 2013 pk .14.10 dengan berat 3.060 dan panjang 48 cm. Nama Jenna berasal dari Jennifer (sempet suka deh sama Jennifer Lawrence di Silver Lining Playbook dan Hunger Games hihihi) dan nama Eliora berarti God is my light. Arief ‘menemukan’ nama Eliora ini waktu mencari nama untuk Nathan, jadi kami simpan nama ini sejak 2 tahun yang lalu, just in case one day we have a baby girl.
Sepanjang operasi berlangsung, saya dalam kondisi sadar. Ga kayak waktu ngelahirin Nathan, bgitu suntik spinal, rasanya saya langsung mengawang-awang. Melihat baby Jenna, saya tersenyum, mata berkaca-kaca dan bersyukur. Dua kali mengalami proses lahiran, dua kali pula saya terpesona. Tuhan Maha Besar.
Sore itu juga saya sudah bisa bertemu Jenna di kamar dan Jenna mulai menyusui. ASI belum keluar, tapi proses menyusui sudah berjalan dan Jenna bekerja sama dengan baik. 24 jam kedua, ASI mulai keluar dan di 24 jam berikutnya saya sudah mulai aktivitas lama: pompa ASI 😀
Nathan datang berkunjung di hari kedua. Kangeeeenn banget sama dia. He’s been very sweet, dia tidak memaksa saya turun kasur ketika tau keadaan saya yang masih terbaring. Begitu melihat adiknya, Nathan juga keliatannya seneng-seneng aja. Dia suka menunjuk Jenna dan berkata “koko…” yang artinya nandain Jenna tuh miliknya (si ‘koko’ hihihi) Seengganya kekuatiran saya mengenai kakak yang cemburu lumayan berkurang.
Akhirnya Jumat bisa pulang ke rumah. Wih senag sekali rasanya bisa pulang, terutama ngebayangin bakal ketemu Nathan. Begitu sampe rumah dan ketemu tu anak, saya peluk erat-erat dan kiss kanan kiri. K-A-N-G-E-N deeehh… Belum lagi selama saya tinggal, Nathan ngalamin jatuh 3x yang berakibat kepala benjol, pipi memar dan bibirnya pecah. Selama tidak fatal, saya tidak kuatir. Cuma sedih aja liat bibirnya yang sariawan dan jontor akibat nyungsep di lantai.
Sambil menikmati kehidupan “baru” dengan 2 anak, saya menjaga kesehatan. Sampe hari ini, saya masih memantau tensi darah dan kolesterol. Saya baru tau, ga cuma tensi darah saya yang tinggi, ternyata kolesterol saya tinggi banget! Untuk pertama kalinya, mencapai angka 270. Syoknya minta ampun. Begitu pulang ke rumah, saya diet ketat: diet rendah natrium dan ga makan daging merah samsek. Level kolesterol dan tensi masih tinggi, tapi berat badan turun drastis. Dalam semingguan saya berhasil ngebuang bobot 7-8 kg. Andaikan angka kolesterol dan tensi bisa turun secepat berat badan… *sigh*
Lusa, Jenna berusia 2 minggu. She’s soo cute. Punya bayi kali kedua ini agak berbeda, saya lebih bisa menikmatinya. Ditambah sejauh ini Jenna anteng banget, masih banyak tidur dan ga rewel seperti Nathan bayi, saya jadi punya cukup waktu untuk bermain sama Nathan. Doakan saya semoga bisa jadi ibu yang baik ya untuk 2 anak ini. The journey of motherhood is still looooonnngg way to go 🙂
Jatinegara, 21 April 2013 — oh btw, Selamat hari Kartini! OOT, Kartini meninggal karena komplikasi akibat pre-eklampsia –> http://health.detik.com/read/2010/04/21/080135/1342259/764/ra-kartini-dan-penyakit-preeklamsia